Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya. (Yoh 1:1-5)

Minggu, 20 Maret 2011

Murahlah Hati, Sama Seperti Bapamu Murah Hati

Lukas 6 : 36 - 38

36           Hendaklah kamu murah hati,
                sama seperti Bapamu adalah murah hati.
37           Janganlah kamu menghakimi,
                maka kamu pun tidak akan dihakimi.
                Dan janganlah kamu menghukum,
                maka kamu pun tidak akan dihukum;
                ampunilah dan kamu akan diampuni.
38           Berilah dan kamu akan diberi:
                 suatu takaran yang baik,
                yang dipadatkan,
                yang digoncang
                dan yang tumpah ke luar
                akan dicurahkan ke dalam ribaanmu.
                Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur,
                akan diukurkan kepadamu.

Perempuan biasanya paling cepat dapat info tentang big sale dimana-mana, apa yang di ‘sale’, kapan dan syaratnya. Termasuk dimana garage sale, kapan ada ‘midnight’ sale dan barusan saya lihat di twitter ada juga ‘subuh’ sale. Tujuannya sederhana, mengharapkan bisa mendapatkan barang yang dicari – lebih sering tidak dibutuhkan dengan harga miring alias murces. Seringkali saat kita keliling di mall, tergoda untuk mampir menengok-nengok toko yang bertanda ‘Sale’ besar-besar. Ini yang kita kenal sebagai ‘impulsive buying’ – metode belanja yang tiba-tiba muncul, dan selama uang ada – apalagi ada kartu kredit, terlampiaskanlah keinginan belanja itu. Tapi bisa jadi godaan ini menjadi pisau bermata dua, akhir bulan kita pusing memikirkan bagaimana membayar tagihan kartu kredit, apalagi mengisi tabungan.
Disisi lain kita lebih gengsi kalau mendapatkan hadiah yang kita tahu ‘mahal’, tetapi bukan barang ‘sale’, juga bukan barang second. Kita merasa disepelekan begitu tahu bahwa hadiah tersebut bernilai ‘murahan’ walaupun untuk mencarinya diperlukan kerja keras juga seperti layaknya kita berebut barang ‘sale’. Kita bisa bercerita dengan bangga bahwa pasangan kita menghadiahi kita barang ‘mahal’, bukan barang murahan. Mungkin saya salah, tapi sebagian teman setuju bila dikatakan inilah paradoks perempuan : suka membeli barang murah, tapi tidak suka diberi barang murahan.
Kita sering bertindak secara paradoks  juga. Sering kita jual murah pada orang lain, tapi jual mahal pada orang-orang terdekat kita. Kita sering murah hati pada orang-orang yang baru kita kenal, atau kawan yang jarang ditemui, hanya sekedar untuk memberi kesan ramah, murah senyum dan suka menolong. Tetapi kalau kita mau jujur, apakah kita juga murah hati kepada orang-orang yang setiap hari kita jumpai? Para karyawan di kantor, pembantu rumah tangga bahkan anak-anak dan pasangan kita? Kita tidak perlu menutup-nutupi dengan berbagai cara karena mereka sendiri melihat apakah kita melakukannya dengan tulus, tanpa tedeng aling-aling. Murah hati dengan tidak serta merta menghakimi dan mudah menghukum, hanya karena kita atasan mereka, orang tua yang memiliki kuasa atas anak-anak, atau serta merta ingin menunjukkan lebih berkuasa atas pasangan kita.
Murah hati juga berarti mudah memaafkan, memberi harapan senantiasa dan percaya bahwa dengan perhatian dan kasih maka seseorang akan menjadi lebih baik. Semoga kita mau belajar untuk senantiasa murah hati, murah senyum, murah pujian bukan hanya bagi orang-orang yang baru kita kenal, tapi juga bagi mereka yang membutuhkan perhatian dan kasih kita.
Ditulis oleh Ratna Ariani


Mengapa surat-surat kabar penuh dengan berita korupsi, penyelewengan, penipuan. dan sebagainya? Sebab banyak orang yang berkedudukan tinggi dalam pemerintahan tidak tahu satu hal yang paling dasariah, yaitu : Berilah, dan kamu akan diberi. ...Mereka justru "mengambil" sebanyak-banyaknya, lalu menggunakannya untuk membangun rumah ketiga, membeli mobil tambahan, padahal begitu banyak orang tidak punya rumah; kendaraan mereka hanyalah sepeda butut.
Yesus tidak pernah memikirkan rumah baru atau pun kendaraan untuk berkeliling Tanah Suci. la pasti tidak mengincar pula rumah-rumah makan yang paling lezat hidangannya. Mengapa? Sebab la ingin bermurah hati seperti Bapa-Nya murah hati juga. Artinya: la hidup untuk memberi bukan untuk diberi. la tidak memikirkan diri-Nya sebab la tahu bahwa kalau la berbuat demikian, la tidak akan memikirkan orang lain. la seorang pemimpin sejati.
Secara resmi Yesus bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Namun, masyarakat berbondong-bondong datang kepada-Nya. Mengapa? Sebab manusia lain adalah segala-galanya bagi Yesus, baik hidup fisik, maupun - dan terutama - hidup spiritualnya. Maka la mengajar hingga ke pelosok-pelosok. la tidak menuntut bayaran. la tahu bahwa sebagai pemimpin la harus menghabiskan diri-Nya seperti lilin yang bemyala hingga tak punya bahan lagi untuk dibakar. Justru karena demikianlah hati-Nya, maka la dengan sepenuh hati siap mati demi segenap umat manusia. Pada-Nya terbukti bahwa yang memberi paling banyak, diberi pula paling banyak. Sebab la dibangkitkan, naik ke surga, duduk di sebelah Allah Bapa. Di surga pun pikiran-Nya selalu terpusat pada manusia untuk memberi, memberi, memberi.
Aku hidup untuk memberi atau diberi ?
Ditulis oleh Peter Suriadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar